Goproinfo.com – Di tengah dunia yang sering dipenuhi berita tentang kesuksesan para tokoh dengan pencapaian akademik mengagumkan, seperti Welin Kusuma dari Makassar dengan 45 gelar akademiknya, ternyata ada sosok lain yang mengukir prestasi berbeda prestasi yang diukur bukan dari banyaknya ijazah yang terpajang di dinding, melainkan dari jumlah air mata yang berhasil diusap dan jumlah doa yang terkabul. Dialah Al-Ghazali Katili, pria sederhana dari Isimu, Kecamatan Tibawa, Kabupaten Gorontalo.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Bagai embun pagi yang menyejukkan, kehadiran Al-Ghazali telah membawa secercah harapan bagi mereka yang hampir putus asa. Sejak 2019, pria dengan hati seluas samudra ini telah membantu membangun 70 rumah dan 5 masjid bagi warga yang membutuhkan. Sebuah angka yang bukan hanya statistik, tetapi juga cerminan dari ribuan senyum yang telah ia kembalikan, ribuan air mata yang telah ia hentikan, dan ribuan doa yang telah ia wujudkan.

Perjalanan mulia Al-Ghazali bermula dari sebuah keberanian yang bersemi dari keterbatasan. Dengan modal yang nyaris tak ada—hanya beberapa rupiah yang bercokol di kantong dan keyakinan kokoh bahwa Allah akan membantunya—dia nekat membangun rumah pertama untuk seorang warga. Saat itu, pria ini masih menjalani hidupnya sebagai pedagang motor bekas. Tangan yang sama yang menggenggam kunci motor untuk dijual, juga menggenggam palu dan paku untuk membangun rumah bagi mereka yang membutuhkan. Sebagian keuntungan dari bisnisnya yang sederhana, ia sulap menjadi fondasi kebahagiaan bagi orang lain.
Kisah inspiratif ini berlanjut ketika Al-Ghazali memutuskan untuk membagikan perjalanan kebaikannya melalui Facebook. Seperti magnet yang menarik partikel-partikel besi, postingannya menarik banyak hati yang tergerak. Bantuan mulai berdatangan dari para sahabat maya, membuktikan bahwa di era digital ini, kebaikan bisa menyebar secepat cahaya. Media sosial yang sering dikritik sebagai arena pertunjukan kemewahan, di tangan Al-Ghazali justru menjadi jembatan penghubung antara mereka yang ingin membantu dan mereka yang membutuhkan bantuan.
Hampir setiap hari, ponsel Al-Ghazali berdering menerima pesan-pesan singkat dari berbagai warga yang menjelaskan kondisi rumah mereka yang sudah tidak layak huni. Dengan kendaraan sederhana hanya motor yang dikendarai bersama istri dan anaknya, Fahmi, yang saat itu masih duduk di bangku kelas 3 SD mereka menyusuri jalan-jalan kampung, menembus hujan dan terik matahari, untuk melihat langsung keadaan rumah-rumah tersebut. Dan tanpa banyak bicara, keesokan harinya, rumah-rumah itu langsung dibongkar dan dibangun kembali dengan yang baru. Tidak ada birokrasi yang berbelit, tidak ada persyaratan yang rumit, hanya niat tulus untuk menolong.
Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak tahun 2020 sempat menghentikan langkah kebaikan Al-Ghazali. Namun, seperti matahari yang selalu terbit setelah malam yang gelap, setelah pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada Desember 2022, Al-Ghazali kembali melanjutkan misinya membantu masyarakat membangun rumah. Seolah waktu yang terbuang selama pandemi membuat semangatnya berkobar lebih besar, seperti api yang semakin menyala setelah tersiram air.
Tahun 2020 menjadi titik nadir dalam kehidupan Al-Ghazali. Pandemi yang berkepanjangan tidak hanya menghambat aktivitas kemanusiaannya, tetapi juga menghantam bisnisnya hingga ambruk. Usaha jual beli motor bekas yang selama ini menjadi tulang punggung kehidupannya dan sumber dana untuk membantu orang lain, kini bangkrut tak bersisa. Finansial keluarga berada di titik terendah, tidak ada uang di tangan, dan beban hidup yang semakin menumpuk membuat rumah tangga yang telah dibangunnya bersama sang istri berada di ujung tanduk. Mereka hampir bercerai, ketika tekanan ekonomi membuat retakan-retakan dalam hubungan yang dulunya kokoh.
Namun, berbeda dengan kebanyakan orang yang mungkin akan menyerah pada keadaan, Al-Ghazali justru semakin mengeratkan genggamannya pada keyakinan. Di tengah badai kehidupan yang menggempur, ia tetap sabar, tetap berdoa, dan tetap percaya bahwa setiap ujian pasti ada hikmah di baliknya. Kesabaran yang bukan hanya dilabeli di bibir, tetapi dibuktikan dengan ketegaran menghadapi setiap cobaan. Dan benar saja, kesabaran itu akhirnya menuai hasil. Dengan perlahan tapi pasti, Al-Ghazali berhasil bangkit dari keterpurukan, menyatukan kembali keluarganya, dan melanjutkan misi kemanusiaannya meski dengan cara yang lebih sederhana.
Kebaikan Al-Ghazali tak hanya membawa perubahan bagi mereka yang dibantu, tetapi juga bagi anaknya, Fahmi Katili. Anak yang tumbuh dengan menyaksikan langsung bagaimana ayahnya berjuang untuk orang lain, kini telah memahami makna kehidupan yang lebih dalam. Suatu hari, saat mereka mengunjungi rumah seorang nenek di Desa Ombulodata, Kecamatan Kwandang, Fahmi melihat pemandangan yang mengoyak hatinya. Nenek itu hanya memiliki pisang sebagai makanan hari ini, dan besoknya hanya daging buah kelapa. Dapur nenek itu kosong, tidak ada beras untuk dimasak. Sejak kejadian itu, Fahmi yang dulu mungkin seperti anak-anak pada umumnya yang menyukai makanan enak, kini memilih untuk makan sederhana tahu dan tempe karena menurutnya masih banyak orang yang lebih membutuhkan di luar sana. “Mending uangnya membantu masyarakat yang susah,” ujarnya dengan mata yang bersinar penuh keyakinan.
Bukan hanya sekali dua kali Al-Ghazali menghadapi cobaan dalam misi kemanusiaannya. Suatu hari, saat sedang membantu membangun rumah warga, mereka membutuhkan seng dan kayu, sedangkan saat itu Al-Ghazali tidak memiliki uang sama sekali. Namun, bukannya mundur atau menunda, ia justru menenangkan pemilik rumah dengan kata-kata penuh keyakinan: “Tenang pak, Insya Allah, Allah bantu kita.” Dan seperti mukjizat kecil dalam kehidupan sehari-hari, beberapa saat kemudian datanglah bantuan berupa seng dari sahabat Facebook Al-Ghazali. Saat itu, ia kembali merasakan bahwa langit tidak pernah jauh dari manusia yang berbuat baik.
Tahun 2023 membawa kejutan manis yang tak terduga bagi Al-Ghazali. Suatu hari, ia menerima sebuah kabar yang membuatnya tak percaya ia terpanggil untuk menunaikan ibadah umroh ke tanah suci secara gratis.
Tanpa pernah ia ketahui siapa dermawan yang memberikan hadiah berharga ini, Al-Ghazali mendapatkan kesempatan untuk menginjak tanah suci Mekkah dan Madinah. Keajaiban yang hingga kini masih menjadi misteri baginya. Siapakah gerangan yang mengumrahkannya? Apakah salah satu dari ratusan orang yang pernah ia bantu? Atau mungkin seseorang yang tergerak hatinya melihat kisah-kisah kebaikan yang ia bagikan di media sosial? Hingga detik ini, Al-Ghazali masih tidak tahu, dan mungkin tidak akan pernah tahu. Namun, baginya, ini adalah bukti nyata bahwa kebaikan selalu menemukan jalannya untuk kembali kepada sang pemberi, meski dalam bentuk yang tak terduga dan dari orang yang tak terduga.
Tahun 2024 membawa perubahan baru dalam hidup Al-Ghazali. Ia memutuskan untuk ikut serta menjadi calon legislatif dari partai Gerindra dengan daerah pemilihan Kecamatan Tibawa – Pulubala. Keputusan yang mungkin bagi sebagian orang dianggap sebagai langkah untuk mencari kekuasaan, bagi Al-Ghazali justru menjadi kesempatan untuk memperluas jangkauan bantuannya. Dan keyakinannya terbukti benar ketika ia berhasil memperoleh suara yang cukup dan pada Agustus 2024, ia resmi dilantik menjadi anggota legislatif. Namun, jabatan baru ini tidak mengubah hatinya yang sederhana. Al-Ghazali tidak menjadikan pencapaian ini sebagai alasan untuk berhenti membantu, justru ia semakin gencar membantu rakyat.
Pada tahun 2025 ini, ia telah membeli sebuah mobil yang diubah menjadi ambulans, siap melayani masyarakat selama 24 jam penuh. Mobil yang bukan hanya menjadi sarana transportasi bagi pasien, tetapi juga kendaraan pembawa harapan bagi mereka yang membutuhkan pertolongan medis. Selain itu, Al-Ghazali juga aktif membantu pasien yang tidak memiliki BPJS atau yang BPJS-nya sudah tidak aktif lagi. Sejak menjadi anggota legislatif, kehadirannya selalu bisa dirasakan oleh rakyat, baik saat mengatasi banjir dan masalah sampah di pasar Isimu, rehabilitasi saluran irigasi di desa Datahu, maupun saat membantu masyarakat korban tabrak lari. Baginya, status sebagai anggota legislatif hanyalah alat untuk lebih banyak berbuat baik.
Di tengah dunia yang seringkali haus akan pengakuan dan jabatan, Al-Ghazali Katili hadir sebagai pengingat bahwa kebaikan sejati tidak perlu dielu-elukan, tidak perlu diiklankan, bahkan tidak perlu diapresiasi. Ia melakukan semua ini bukan untuk mendapatkan pujian atau sanjungan, melainkan karena dorongan hati yang murni untuk membantu sesama. Dan mungkin, itulah yang membuat setiap bantuan yang ia berikan selalu tepat sasaran, selalu berkesan, dan selalu diingat oleh mereka yang menerimanya. Karena kebaikan yang tulus, tak pernah pupus dalam ingatan.
(S. Ishaq, S.Pd.SD)